Rabu, 23 Juli 2008


Menjadikan TIK Sebagai Indrusti Strategi Pertahanan

Kesepakatan Presiden SBY dan B.J. Habibie baru-baru ini untuk merevitalisasi industri strategis Indonesia membawa harapan cerah bagi masa depan bangsa Indonesia. Pertemuan ini seharusnya dapat menjadi kesempatan besar untuk memasukkan sebuah bidang penting ke dalam industri strategis, yakni teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Bidang ini telah menjadi penyangga kehidupan umat manusia di zaman modern. Sadar atau tidak sadar, kehidupan ini telah menjadi semakin praktis berkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Bahkan TIK adalah jantung yang mensuplai energi bagi jalannya industri seperti perbankan, telekomunikasi, dan manufaktur. Melihat fenomena tersebut, tidak mengherankan jika banyak negara menjadikan TIK sebagai industri unggulan dalam rencana pembangunan mereka. Bahkan negara-negara yang bangkit di awal abad 21 seperti India dan China memiliki portfolio industri TIK yang impresif. Negara-negara tersebut sadar, bahwa TIK dapat melesatkan pertumbuhan ekonomi mereka. TIK adalah industri masa depan, sehingga penguasaan TIK merupakan langkah strategis untuk menjadi negara yang berpengaruh di masa depan.

Salah satu bidang yang sangat bergantung pada penguasaan TIK adalah pertahanan. Dengan TIK, peralatan militer hari ini menjadi jauh lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan saat Perang Dunia II. Contoh peran intensif TIK dalam militer dapat dilihat pada next generation weaponry yang sedang dibangun negara-negara maju saat ini. Pada 3rd Conference Examines Role of ICT in Military Transformation 2006, NATO mengumumkan rencananya untuk menambahkan kapabilitas jaringan (Network Enabled Capability) pada angkatan bersenjata negara-negara anggotanya. Diharapkan dengan kapabilitas ini, seluruh sensor, pengambil keputusan, sistem persenjataan, termasuk militer multinasional, pihak pemerintah serta non pemerintah dapat terhubung secara penuh dalam sebuah lingkungan perencanaan, penaksiran, dan pelaksanaan yang terintegrasi.

Memang bidang pertahanan membutuhkan seluruh state-of-the-art dari TIK. Bahkan uniknya, banyak world-class discoveries dalam TIK seperti internet, dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan militer sebelum disebar pada khalayak. Adalah sebuah fakta, bahwa keunggulan komparatif angkatan bersenjata sebuah negara berbanding lurus dengan kemodernan alat utama sistem pertahanan (alutsista)-nya. Sementara kemodernan alutsista berbanding lurus dengan penguasaan TIK. Oleh karena itu, mengakselerasi pertumbuhan industri TIK sangat penting untuk meningkatkan keunggulan komparatif angkatan bersenjata negara ini. Dan salah satu cara untuk mengakselerasinya adalah dengan menjadikannya sebagai industri strategis negara.

Saat ini, posisi Indonesia sendiri dalam bidang TIK memang tertinggal dari negara-negara Uni Eropa, Jepang, apalagi Amerika, China, dan India. Untungnya, TIK memiliki keunikan tersendiri dimana sebagian besar industri ini bersifat brain-based. Artinya, walau hanya dengan modal yang sedikit, seseorang sudah bisa melakukan proses pertambahan nilai. Sifat inilah yang memungkinkan TIK dapat ditingkatkan dengan biaya yang lebih kecil dibanding dengan industri lain.

Permasalahan Pertahanan Indonesia

Permasalahan yang selama ini dianggap menghambat pembangunan pertahanan Indonesia adalah kecilnya dana yang disediakan pemerintah. Memang, statistik menunjukkan anggaran pertahanan Indonesia jauh di bawah negara lain. Sebagai contoh, pada tahun 2005 Amerika yang sering digunakan untuk menginjak dan mengintimidasi negara lain memiliki pengeluaran militer hampir 43 kali lipat milik Indonesia (www,globalissues.com). Atau jangankan dibandingkan Amerika, dengan sesama negara Asia Tenggara saja, perbandingan anggaran pertahanan / PDB Indonesia pada tahun 2005 menempati posisi kedua terbawah setelah Filipina (J. Danang Widoyoko, Menyoal Anggaran Pertahanan).

Tapi benarkah permasalahan militer ada pada rendahnya anggaran? Apakah dengan menambah jumlah anggaran, persoalan militer akan selesai? Hal ini penting dijawab sebelum mengalokasikan APBN untuk pertahanan. Memang secara pragmatis, dengan bertambahnya anggaran pertahanan maka jumlah alutsista akan semakin banyak. Namun jika ditilik dari penguasaan teknologi bangsa ini sekarang, bertambahnya anggaran militer Indonesia malah akan semakin menambah ketergantungan Indonesia pada negara pengekspor senjata. Habibie pernah mendeskripsikan dengan contoh pembelian pesawat Boeing yang berharga US$ 100 juta untuk kepentingan militer. Dalam 20 tahun ke depan, pesawat ini akan membutuhkan biaya perawatan yang besarnya 2-3 kali lipat biaya pembeliannya. Jadi, pembelian alutsista dengan teknologi maju dari negara lain bagai buah simalakama: entah akan semakin menguras sumber daya di kemudian hari untuk perawatan, atau alutsista tersebut menjadi tidak dapat dipakai karena embargo atau kekurangan dana. Dan satu hal yang tidak boleh dilupakan, uang yang dikeluarkan negara ini justru akan digunakan negara-negara maju untuk semakin memperkuat militer mereka.

Maka kita lihat bahwa kemandirian teknologi-lah yang sebenarnya menjadi masalah utama pertahanan Indonesia. Dalam konteks TIK, seharusnya Indonesia dapat menjadi bangsa yang mandiri dalam bidang TIK. Akan tetapi, penguasaan teknologi memiliki sejarah erat dengan umur industrinya. Artinya, bila sebuah industri berumur 200 tahun, maka negara tersebut akan memiliki keunggulan yang jelas dibanding negara yang baru 2 tahun menguasainya. TIK sendiri adalah ilmu yang baru berusia 40 tahun. Oleh karena itu, apabila akuisisi TIK dilakukan secepat mungkin, Indonesia tidak akan terlalu tertinggal dengan bangsa lain. Bahkan Indonesia masih bisa mengejar ketertinggalannya dan menjadi pelopor, seperti saat negara ini memutuskan untuk menjadi negara ketiga di dunia yang memiliki satelit dengan Palapa.

Langkah Menjadikan TIK sebagai Industri Strategis

Untuk meraih keunggulan komparatif itu, TIK harus dimasukkan sebagai salah satu industri strategis. Sebuah industri layak dijadikan industri strategis karena komoditinya memiliki 3 sifat, yakni export oriented, import-substitutable, dan capital raising. Artinya, komoditi tersebut harus bersifat mudah diekspor, dapat menggantikan barang import yang lebih mahal, serta dapat menaikkan nilai dari pengguna komoditi tersebut. Tantangan saat ini adalah bagaimana caranya agar industri TIK di Indonesia memiliki ketiga sifat tersebut. Tiga buah langkah dapat dilakukan, yakni akuisisi teknologi maju, meningkatkan kecintaan terhadap produk lokal, serta technology sharing dengan bangsa lain.

Langkah pertama adalah akuisisi teknologi maju. Yang dimaksud dengan teknologi maju adalah teknologi yang dimiliki oleh pihak yang sangat terbatas, entah karena memang penguasaannya yang sulit dan membutuhkan SDM tingkat tinggi atau terhambat oleh masalah paten dan lisensi. Apabila industri TIK Indonesia dapat memproduksi teknologi maju, negara lain harus mengekspornya dari negeri kita.

Langkah kedua adalah meningkatkan kecintaan terhadap produk dalam negeri. Ini penting, karena sasaran langkah ini memang militer Indonesia. Sayang, konsumen TIK di Indonesia sudah terlanjur mencintai produk asing. Maka sudah saatnya kecintaan terhadap produk TIK dalam negeri dipupuk. Kuncinya adalah kepercayaan dan kerjasama dari pihak produsen dan konsumen. Produsen harus membuktikan bahwa dirinya sebagai bangsa Indonesia mampu membuat produk TIK yang berkualitas dan teruji, dukungan yang baik, serta mudah dipakai. Sementara itu, konsumen harus memberikan kesempatan kepada produsen lokal, meski harganya lebih mahal daripada produk murah buatan Cina itu.

Langkah ketiga, kita harus giat dalam melakukan technology sharing. Patut disadari, bahwa Indonesia memiilki jumlah doktor per kepala keluarga yang sangat rendah. Artinya, jumlah para ilmuwan dan peneliti Indonesia tidak sebanding melawan jumlah bangsa lain. Padahal, lebih banyak kepala sebanding dengan jumlah inovasi yang dapat dihasilkan. Oleh karenanya, kerjasama strategis dengan bangsa lain dalam bidang TIK patut dijalin, sehingga perkembangan industrinya dapat terakselerasi.

Terakhir, pemimpin bangsa ini harus mewaspadai pragmatisme. Penguasaan TIK sampai taraf teknologi maju bukanlah persoalan yang dapat diselesaikan hanya dalam satu dekade, akan tetapi mungkin memakan sampai 20-30 tahun. Jika dilihat secara pragmatis, katakanlah satu sampai lima tahun, mungkin saja TIK akan menjadi industri yang tidak membawa laba, baik laba ekonomi maupun teknologi. Padahal walaupun terlihat rugi, keunggulan teknologi yang akan diraih di masa depan bersifat abadi, dan akan menutupi kerugian ekonomi. Keunggulan teknologi 20 tahun pasti akan menutupi kerugian ekonomi selama lima tahun. Oleh karenanya, langkah ini harus dikomando oleh pemimpin yang bervisi jauh ke depan. Karena di tangannya, TIK sebagai industri strategis akan membawa manfaat bagi bangsa ini.

Tidak ada komentar: